Senin, 13 Juni 2016

PERJUANGAN UMAT ISLAM PADA MASA SUHARTO


Musibah daLam Musibah



Rezim Diktaktor Orde Baru dibawah kepemimpinan JendraL 'bengis' Suharto meninggalkan bekas luka hingga kini bagi umat Islam.
Pada akhir 70-an menjelang awal 90-an rezim ini mulai menekan umat Islam demi panggung pemilu, maka selepas pemilu 1971, rezim orba mulai menampakkan wajah sebenarnya, termasuk pada umat Islam di Indonesia.

Berbagai tekanan mulai dilancarkan kepada umat Islam. Setelah menolak memberikan izin bagi para tokoh-tokoh Masyumi untuk berpolitik, rezim ini juga menekan kaum Nahdiyin di tanah air.
NU yang beroposisi pada rezim orde baru, serta kencang mengkritik Soeharto dan kabinetnya, ditekan keras.
Kebijakan-kebijakan orde baru terhadap umat Islam memang pantas dikritik, bahkan ditentang.
Mulai dari RUU Perkawinan yang mengesampingkan Syariat Islam, rencana rezim Orba untuk mengakomodir aliran kepercayaan sejajar dengan agama, persoalan P4 hingga upaya orde baru untuk membungkam politik umat Islam lewat mengasingkan para tokoh Masyumi dari politik, seperti terhadap M. Natsir, Moh Roem yang tak diizinkan menjadi ketua Parmusi, hingga peleburan partai-partai Islam menjadi satu partai yaitu Partai Persatuan Pembangungan (PPP) yg dikendaLikan paksa oLeh Suharto.



Umat Islam saat itu benar-benar digencet & dipinggirkan aspirasinya oLeh Suharto.
Tak mengherankan, karena Suharto saat itu memilih orang-orang terdekatnya dari kalangan bukan Islam, termasuk kejawen. Ali Moertopo dan Hoemardani yang berada dalam lingkaran kekuasaan Orde Baru memaksimalkan pengaruhnya melalui think-thank Centre for Strategic and International Studies (CSIS).


Upaya rezim Orde Baru yang mengkerdiLkan Lawan poLitiknya dengan menjadikan satu partai Islam dalam satu partai justru menjadi blunder ketika Partai Persatuan Pembangunan (PPP) malah mendulang suara di pemilu 1977.
Golkar yang sempat terancam kalah ketika itu, membuat Suharto Berang & memikirkan kembali kebijakan untuk menghadang peran umat Islam dalam politk kala itu.

Isu-isu jahat seperti ekstrim kanan, ‘Komando Jihad’ menjadi hembusan permainan intelejen yang dihembuskan untuk mendiskreditkan geraakan umat Islam.
Mantan Menteri Agama yang juga tokoh NU, KH Saifuddin Zuhri pun mengkritik isu-isu ‘Komando Jihad’ yang dihembuskan rezim Diktaktor Orde Baru,, yg akhirnya hanya ingin membantai umat isLam.





“Bagaimanapun, secara sepintas lalu, isyu ‘Komando Jihad’ bisa dikesankan untuk ditujukan kepada Ummat Islam, sekurang-kurangnya kepada golongan yang dikatagorikan ‘ekstrim.’ Kitapun tidak lebih tahu, siapa golongan ‘ekstrim’ tersebut. Apakah yang anti Orde Baru?
Yang anti Pancasila?
Yang anti UUD 45?
Yang anti Pembangunan?
Yang anti musyawarah?”
Begitu ucap Mentri Agama dari NU ini dg beraninya.





Aksi-aksi protes umat Islam baik terhadap kebijakan orde Baru semakin menghebat kala Suharto menentukan Pancasila sebagai asas tunggaL DAN PELARANGAN JILBAB di sekoLah juga Kantor kantor.
Polemik asas tunggal Pancasila semakin menghebat di masyarakat dan ormas-ormas Islam. Penolakan-penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal juga menggema di masjid-masjid. Gelombang penentangan umat Islam terhadap rezim orde baru memang tampak menguat.

Namun tak ada yang menyangka, Suharto dan rezim Orba akan melakukan suatu kekejian yang luar biasa terhadap umat Islam. Kekejian yang kelak kita akan mengenangnya sebagai "Tragedi Tanjung Priok".

Dalam kejadian Tragedi Tanjung Priok tidak selesai seteLah pembantaian pada waktu itu saja TAPI terus berLanjut dengan penangkapan & penyiksaan dari aparat Suharto kepada umat isLam dengan satu kata:
"Anti PancasiLa" yg di tafsir Suharto semau udeLnya sendiri.

Tanggal 12 September 1984 sebuah pengajian besar, yang memang sudah direncanakan jauh-jauh hari diadakan di Jalan Sindang, lorong 102.
Pengajian tersebut diisi oleh beberapa ustadz, yaitu, Syarifin Maloko, Salim Kadar, M Nasir (bukan M. Natsir tokoh Masyumi dan DDII), dan Ratono.






Acara pengajian yang dimulai pukul 20.00 itu kemudian berujung memanas. Masyarakat yang masih tak puas dengan sikap pemerintah ORBA soaL penyelesaian kejadian di muasjid As-Sa’adah.
Pukul 22.30, Amir Biki kemudian didaulat untuk berbicara di atas panggung.Di depan jama’ah yang berjumlah ribuan, Amir Biki mengajak jama’ah untuk menuntut pembebasan keempat orang yang ditangkap. Ia kemudian berkata :
“Kita tunggu sampai jam 23.00 WIB, apabila keempat orang ini tidak dibebaskan juga, maka kita semua ke Kodim !! Malam ini akan ada banjir darah. Karena saya tahu moncong senjata TNI telah diarahkan ke kepala saya!”
Perkataan Amir Biki berhenti sejenak, kemudian dilanjutkan dengan : “Apabila saya meninggal malam ini, saya minta kepada jamaah untuk mengusung jenazah saya keliling Jakarta!” Amir Biki juga mengingatkan, “Jangan mengecewakan saya, saya peringatkan bahwa yang membuat kegaduhan itu bukan umat isLam TAPI pemerintah Orde Baru yg terus menekan umat isLam,” serunya.

Massa pun bergerak menuju Kodim. Di jalan mereka bertakbir, sambil membawa bendera hijau bertuliskan kalimat Tauhid. Tidak ada aksi anarkis sepanjang jalan. Namun belum sampai Kodim, persis di depan gerja di samping Mapolres Jakarta Utara, massa terhenti. Mereka dihadang aparat tentara....

Saat rombongan yang berada di depan barisan berusaha menahan massa untuk berhenti, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan.
Massa pun panik, berhamburan.
Tembakan kemudian terus menyusul, senapan menyalak menghujani massa, tanpa henti 10 hingga 15 menit.
Orang-orang bertumbangan, berteriak, Allaahu Akbar-Allaahu Akbar menggema. Husain Safe yang saat itu berada di barisan depan mengisahkan kejadian brutal tersebut ;





“Detik-detik berlalu begitu mencekam. Tak lama kemudian aparat-aparat yang menembak bergerak mundur agak jauh dari saya sambil terus menembak. Mereka mencoba melihat lebih jauh ke belakang, ke arah rombongan lain yang menuju kami. Ternyata itu adalah rombongan Amir Biki. Saya dengar ada yang berteriak bahwa itu adalah Amir Biki. Disusul lagi teriakan dari anggota pasukan lainnya, “Habisi saja!!”

Mayat-mayat bergelimpangan di antara orang-orang yang terkapar terluka, di jalan dan di selokan.
Tentara terus memburu massa dalam kegelapan akibat lampu dimatikan secara serentak.
Kelak diketahui, lampu-lampu itu padam akibat dimatikan langsung dari pusat oleh PLN.
Tentara memburu siapa saja. Orang yang lari ditembak hingga rubuh. Orang-orang yang tiarap dilindas truk tentara yang datang sekonyong-konyong.
Orang-orang yang bersembunyi di selokan mendengar jelas jeritan-jeritan orang terlindas dan suara tulang remuk.
Mereka terus menembaki bahkan dari atas truk. Setelah 10 hingga 15 menit, tembakan-tembakan kemudian berhenti.

Aparat itu memeriksa siapapun yang tergeletak. Mencari yang masih hidup.
Beberapa orang yang terluka namun masih hidup, berpura-pura mati. Termasuk Yusron Zaenuri.
Ia berpura-pura mati. Mayat-mayat kemudian ditumpuk dan dilempar ke atas truk. Yusron Zaenuri, dilempar ke truk bertumpuk-tumpuk dengan mayat. Dua mobil truk besar penuh dengan mayat.
Tak lama kemudian datang ambulans dan mobil pemadam kebakaran, membersihkan jalan dari genangan darah. Ratusan orang menjadi korban keganasan Suharto hari itu.

Umat Islam, beserta para tokoh masyarakat mengecam peristiwa tersebut. Para tokoh Islam seperti Syafrudin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Anwar Harjono, AM Fatwa hingga tokoh nasional seperti Hoegeng, Ali Sadikin, HR Dharsono menandatangani Lembar Putih 22 yang berisi keprihatinan tentang kebrutaLan dari pemerintah rezim Suharto, TAPI Bukan_nya di tanggapi .. tokoh tokoh tersebut maLah di cekaL tidak boLeh kemana mana karena dianggap membahayakan.




Peristiwa ini memang tak hanya musibah dalam musibah, tetapi juga musibah berlanjut musibah.

Kekejian aparat rezim Orde Baru tak hanya puas dengan membantai umat Islam di lokasi tetapi dilanjutkan dengan penyiksaan terhadap orang-orang yang terluka.
Selepas diobati seadanya di rumah sakit, mereka kemudian ditahan tanpa ada proses yang legal.
Penangkapan-penangkapan juga berlanjut selepas tragedi tersebut. Baik yang benar-benar ada di lokasi saat kejadian ataupun orang yang tak tahu menahu tentang peristiwa tersebut.
Mereka dipaksa untuk mengakui pernyataan palsu. Penyiksaan demi penyiksaan menjadi makanan sehari-hari para tahanan. Mereka diperlakukan lebih buruk daripada binatang.






Syaiful Hadi salah seorang yang ditahan menceritakan kisah pilu yang mereka alami.

“Dalam tubuh tanpa dibalut pakaian itu, kami disiksa di atas kerikil tajam. 
Kami dipaksa berguling-guling di atas kerikil itu, sementara tentara memukuli dengan tongkat dan menendangi dengan sepatu lars. 
Dari mulut mereka terlontar hinaan yang menyakitkan. “Dasar PKI , Anak gerombolan GPK” hardik mereka. 
Kami cuma mampu mengucap, “Allahu Akbar!” 
Namun setiap kami mengucap kalimat takbir itu, mereka selalu melontarkan ejekan yang amat menyakitkan hati. 
“Di sini tidak ada Tuhan,” bentak mereka. 
Astaghfirullah..!! Hati seperti berkeping-keping. 
Sementara tubuh saya dan teman-teman tak henti-hentinya mengeluarkan darah. Darah segar mengucur dari kepala sampai kaki.”


(Kutipan Buku Kesaksian Tragedi Tanjung Priok :
"Mereka Bilang Di Sini Tidak Ada Tuhan: Suara Korban Tragedi Priok. Jakarta: Gagas Media dan Kontras.)






Bagi umat Islam generasi saat ini setidaknya kita dapat memahami bagaimana perjuangan umat Islam di masa itu dalam membela kepentingan agamanya, menentang rezim brutal Orde Baru di bawah Soeharto.

“Piye kabare ?
Isih penak jamanku Tho?”

Dor..!!!
Door...!!
DoooRRR.. !!!











1 komentar:

  1. Slot Machines Near Me - JtmHub
    JTV Casino 당진 출장마사지 Hotel is located in Temecula, Arizona. The casino features over 400 대전광역 출장안마 slot machines and 300 경주 출장안마 table games, with 의왕 출장마사지 more than 포항 출장마사지 10,000 slots.

    BalasHapus